Sebelum Reformasi
Seorang peneliti
Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat Negara di
zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa
(1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah
peradilan dalam sidang pengadilan. Para
dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin
dan mengawasi para dhyaksa tadi.
Kesimpulan ini
didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa
adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van
Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih
terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa.
Hanya saja, pada
prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda
belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda
mengemban misi terselubung yakni antara lain:
a.
Mempertahankan
segala peraturan Negara
b.
Melakukan
penuntutan segala tindak pidana
c.
Melaksanakan
putusan pengadilan pidana yang berwenang
Peranan Kejaksaan
sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali
oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang
kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944.
Eksistensi Kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak
Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo
Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa
Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk:
1.
Mencari (menyidik)
kejahatan dan pelanggaran
2.
Menuntut Perkara
3.
Menjalankan
putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
4.
Mengurus pekerjaan
lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Karena itulah,
secara yuridis formal, Kejaksaan
R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal
19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni
dalam lingkungan Departemen Kehakiman.
Menyangkut
Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30
Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan
Kejaksaan sebagai alat Negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum
(pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa
Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden.
Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat
revolusi dan penempatan Kejaksaan dalam struktur organisasi departemen,
disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan
Tinggi.
Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang
menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan
organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya
Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal